Selamat Datang..Welcome..Benvenuto..Accueil..Willkommen di blog saya..........have a nice day
Thank you for visited...budayakan kebiasaan untuk meninggalkan jejak anda(jangan lupa komentar)


Marhaban Ya Ramadhan

Sabtu, 01 November 2008

TANYA JAWAB sesion 1



Pertanyaan
1. hukum musik

pengasuh syariah online yang di rahmati Allah SWT, saya ingin tanya bagaimana pandangan islam terhadap nyanyian,nasyid dan musik.mohon penjelasan nya,sebelumnya saya ucapkan terimakasih

JawabanAssalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Persoalan yang banyak dibahas oleh umat Islam adalah masalah nyanyian dan musik. Terlepas dari hukum nyanyian dan musik tersebut, manusia cenderung menyukai sesuatu yang indah dan merdu didengar. Secara fitrah manusia menyenangi suara gemercik air yang turun ke bawah, kicau burung dan suara binatang-binatang di alam bebas, senandung suara yang merdu dan suara alam lainnya. Nyanyian dan musik merupakan bagian dari seni yang menimbulkan keindahan, terutama bagi pendengaran. Allah SWT. Menghalalkan bagi manusia untuk menikmati keindahan alam, mendengar suara-suara yang merdu dan indah, karena memang itu semua itu diciptakan untuk mereka.
Lalu, bagaimana Islam berbicara tentang nyanyian dan musik? Istilah yang biasa dipakai dalam madzhab Hanafi pada masalah nyanyian dan musik sudah masuk dalam ruang lingkup maa ta'ummu bihi balwa (sesuatu yang menimpa orang banyak). Sehingga pembahasan tentang dua masalah ini harus tuntas. Dan dalam memutuskan hukum pada dua masalah tersebut, apakah halal atau haram, harus benar-benar berlandaskan dalil yang shahih (benar) dan sharih (jelas). serta harus tajarud, yakni hanya tunduk dan mengikuti sumber landasan Islam saja yaitu Al- Qur'an, Sunnah yang shahih dan Ijma; tidak terpengaruh oleh watak atau kecenderungan perorangan dan adat-istiadat atau budaya suatu masyarakat.

Sebelum membahas pendapat para ulama tentang dua masalah tersebut dan pembahasan dalilnya. Kita perlu mendudukkan dua masalah tersebut. Nyanyian dan musik dalam Fiqh Islam termasuk pada kategori muamalah atau urusan dunia dan bukan ibadah. Sehingga terikat dengan kaidah: Hukum dasar pada sesuatu (muamalah) adalah halal (mubah). Hal ini sesuai firman Allah SWT.: Artinya: "Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu" (QS Al-Baqarah 29).

Sehingga untuk memutuskan hukum haram pada masalah muamalah termasuk nyanyian dan musik harus didukung oleh landasan dalil yang shahih dan sharih. Rasulullah saw. Bersabda: Artinya:"Sesungguhnya Allah Aza wa Jalla telah menetapkan kewajiban, janganlah engkau lalaikan, menetapkan hudud, jangan engkau langgar, mengharamkan sesuatu jangan engkau lakukan. Dan diam atas sesuatu, sebagai rahmat untukmu dan tidak karena lupa, maka jangan engkau cari-cari (hukumnya)' (HR Ad-Daruqutni).

"Halal adalah sesuatu yang Allah halalkan dalam kitab-Nya. Dan haram adalah sesuatu yang Allah haramkan dalam kitab-Nya. Sedangkan yang Allah diamkan maka itu adalah sesuatu yang dimaafkan" (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim )

Pada hukum nyanyian dan musik ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Ulama sepakat mengharamkan nyanyian yang berisi syair-syair kotor, jorok dan cabul. Sebagaimana perkataan lain, secara umum yang kotor dan jorok diharamkan dalam Islam. Ulama juga sepakat membolehkan nyanyian yang baik, menggugah semangat kerja dan tidak kotor, jorok dan mengundang syahwat, tidak dinyanyikan oleh wanita asing dan tanpa alat musik. Adapun selain itu para ulama berbeda pendapat, sbb:

Jumhur ulama menghalalkan mendengar nyanyian, tetapi berubah menjadi haram dalam kondisi berikut: 1. Jika disertai kemungkaran, seperti sambil minum khomr, berjudi dan lain-lain. 2. Jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada wanita atau sebaliknya. 3. Jika menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan shalat atau menunda-nundanya dan lain-lain.

Madzhab Maliki, asy-Syafi'i dan sebagian Hambali berpendapat bahwa mendengar nyanyian adalah makruh. Jika mendengarnya dari wanita asing maka semakin makruh. Menurut Maliki bahwa mendengar nyanyian merusak muru'ah. Adapun menurut asy-Syafi'i karena mengandung lahwu. Dan Ahmad mengomentari dengan ungkapannya: "Saya tidak menyukai nyanyian karena melahirkan kemunafikan dalam hati." Adapun ulama yang menghalalkan nyanyian, diantaranya: Abdullah bin Ja'far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu'bah, Usamah bin Zaid, Umran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar Al-Khallal, Abu Bakar Abdul Aziz, Al-Gazali dan lain-lain. Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa para ulama menghalalkan bagi umat Islam mendengarkan nyanyian yang baik-baik jika terbebas dari segala macam yang diharamkan sebagaimana disebutkan diatas. Sedangkan hukum yang terkait dengan menggunakan alat musik dan mendengarkannya, para ulama juga berbeda pendapat. Jumhur ulama mengharamkan alat musik. Sesuai dengan beberapa hadits diantaranya, sbb: Artinya:"Sungguh akan ada di antara umatku, kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat-alat yang melalaikan". (HR Bukhari)

"Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata: "Wahai Nafi" apakah engkau dengar?". Saya menjawab:"Ya". Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata:"Tidak". Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah saw. Mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini" (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah). Artinya: Dari Umar bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. berkata tentang umat ini: "Gerhana, gempa dan fitnah. Berkata seseorang dari kaum muslimin: "Wahai Rasulullah kapan itu terjadi?" Rasul menjawab:"Jika biduanita, musik, dan minuman keras dominan" (HR At-Tirmidzi). Para ulama membicarakan dan memperselisihkan hadits-hadits tentang haramnya nyanyian dan musik.

Hadits pertama diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, dari Abi Malik Al Asy‘ari ra. Hadits ini walaupun terdapat dalam hadits shahih Bukhori, tetapi para ulama memperselisihkannya. Banyak diantara mereka yang mengatakan bahwa hadits ini adalah mualaq (sanadnya terputus), diantaranya dikatakan oleh Ibnu Hazm. Disamping itu diantara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idtirab). Katakanlah, bahwa hadits ini shohih, karena terdapat dalam hadits shohih Bukhori, tetapi nash dalam hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya. Batasan yang ada adalah bila ia melalaikan. Hadits kedua dikatakan oleh Abu Dawud sebagai hadits mungkar. Kalaupun hadits ini shohih, maka Rasulullah saw. Tidak jelas mengharamkannya. Bahkan Rasulullah saw mendengarkannya sebagaimana juga yang dilakukan oleh Ibnu Umar. Sedangkan hadits ketiga adalah hadits ghorib. Dan hadits-hadits lain yang terkait dengan hukum musik, jika diteliti ternyata tidak ada yang shohih.

Adapun ulama yang menghalalkan musik sebagaimana diantaranya diungkapkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar adalah sbb: Ulama Madinah dan lainnya, seperti ulama Dzahiri dan jama'ah ahlu Sufi memberikan kemudahan pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola". Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi'i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja'far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul Mukminin Ali ra. Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya�bi. Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak wanita dan gitar. Dan Ibnu Umar pernah kerumahnya ternyata disampingnya ada gitar, Ibnu Umar berkata: "Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw. Kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata:� Ini mizan Syami( alat musik) dari Syam?". Berkata Ibnu Zubair: "Dengan ini akal seseorang bisa seimbang". Dan diriwayatkan dari Ar-Rowayani dari Al-Qofaal bahwa madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat musik. Demikianlah pendapat ulama tentang mendengarkan alat musik. Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta'akhirin yang mengharamkan alat musik karena mereka mengambil sikap warak (hati-hati). Mereka melihat kerusakan yang timbul dimasanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi'in menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari Al-Qur'an maupun hadits yang jelas mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.

Oleh karena itu bagi umat Islam yang mendengarkan nyanyian dan musik harus memperhatikan faktor-faktor berikut:

Pertama: Lirik Lagu yang Dilantunkan. Hukum yang berkaitan dengan lirik ini adalah seperti hukum yang diberikan pada setiap ucapan dan ungkapan lainnya. Artinya, bila muatannya baik menurut syara‘, maka hukumnya dibolehkan. Dan bila muatanya buruk menurut syara‘, maka dilarang.

Kedua: Alat musik yang digunakan. Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar yang berlaku dalam Islam adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada larangan yang jelas. Dengan ketentuan ini, maka alat-alat musik yang digunakan untuk mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya dibolehkan. Sedangkan alat musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama adalah ad-dhuf (alat musik yang dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan untuk mendengarkannya, para ulama berbeda pendapat satu sama lain. Satu hal yang disepakati ialah semua alat itu diharamkan jika melalaikan.

Ketiga: Cara Penampilan. Harus dijaga cara penampilannya tetap terjaga dari hal-hal yang dilarang syara‘ seperti pengeksposan cinta birahi, seks, pornografi dan ikhtilath.

Keempat: Akibat yang Ditimbulkan. Walaupun sesuatu itu mubah, namun bila diduga kuat mengakibatkan hal-hal yang diharamkan seperti melalaikan shalat, munculnya ulah penonton yang tidak Islami sebagi respon langsung dan sejenisnya, maka sesuatu tersebut menjadi terlarang pula. Sesuai dengan kaidah Saddu Adz dzaroi‘ (menutup pintu kemaksiatan) .

Kelima: Aspek Tasyabuh. Perangkat khusus, cara penyajian dan model khusus yang telah menjadi ciri kelompok pemusik tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam, harus dihindari agar tidak terperangkap dalam tasyabbuh dengan suatu kaum yang tidak dibenarkan. Rasulullah saw. Bersabda: Artinya:"Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka" (HR Ahmad dan Abu Dawud)

Keenam: Orang yang menyanyikan. Haram bagi kaum muslimin yang sengaja mendengarkan nyanyian dari wanita yang bukan mahramnya. Sebagaimana firman Allah SWT.: Artinya: "Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik "(QS Al-Ahzaab 32)

Demikian kesimpulan tentang hukum nyanyian dan musik dalam Islam semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi panduan dalam kehidupan mereka. Amiin.

Wallahu A‘lam Bish-Showab,


2. Onani VS Zina


Pertanyaan:Assalamu'alaikum wr.wb Mau nanya perbandingan tentang beratnya dosa antara melakukan onani dengan berzinah, karena teman saya mengatakan "daripada melakukan onani lebih baik berzina dengan pacarnya, karena dosanya sama, dan lebih enak zina" dan dia bilang bahwa onani itu sama seperti berzina dengan ibu kandung sendiri, apakah itu benar??

Mohon pencerahannya, terima kasih.

JawabanAssalamu'alaikum wr.wb

Segala puja dan syukur kepada Allah, shalawat salam untuk RasulNya.

Semoga Allah senantiasa memberi kita petunjuk (hidayah) pada jalan yang lurus, termasuk meluruskan cara berfikir kita, pemahaman kita tentang agama Islam.

Zina dan onani adalah dua hal yang sangat berbeda, baik dari segi kedudukan, maupun definisi atau bentuk perbuatan. meskipun keduanya ada sisi yang sama, yaitu sama-sama mengeluarkan sperma, akan tetapi kesamaan itu tidaklah menjadikan kedua perbuatan itu sama dalam syariah Islam, atau di hadapan Allah, atau di mata hukum positif sekalipun.

Pemahaman teman anda tentunya pemahaman yang salah. dari beberapa sudut pandang, zina dilakukan oleh dua orang lawan jenis yang tidak halal, laki perempuan yang tidak ada ikatan pernikahan, dalam zina seseorang telah meneteskan benih sperma di rahim orang lain yang tidak halal baginya, didalam zina ada penodaan terhadap harkat dan martabat seseorang, baik laki maupun perempuan, terlebih adalah perempuan. bahkan bukan hanya yang bersangkutan saja aib derita itu ditanggung, tapi kepada keluarga besarnya. dan masih banyak penilaian buruk dalam perbuatan zina, meskipun zina itu dilakukan suka sama suka, ia tetaplah perbuatan dosa besar yang sangat keji, sebagaimana hal itu dinyatakan Allah :

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk (QS. al-Isra':32).

Cukuplah sebagai bukti bahwa zina merupakan dosa besar, hukuman bagi pelakunya dalam perspektif syariah Islam, ia dihukum rajam sampai mati, hal ini jika pelakunya adalah orang yang muhson (sudah berkeluarga), namun jika belum berkeluarga maka hukumannya adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan (dalam kontek sekarang mungkin dipenjarakan) selama satu tahun.

Pernyataan teman anda yang mengatakan onani sama dengan berzina dengan ibunya, adalah pernyataan yang tidak benar, mungkin ia pernah mendengar / salah dengan pengajian atau baca tulisan yang tidak begitu jelas atau ia lupa. yang sama seperti menzinahi ibunya adalah dosa orang yang memakan harta riba, dalam satu hadits dinyatakan:



عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرِّبَا سَبْعُونَ حُوبًا أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ

Dari Abu Hurairah Ra berkata, Rasulullah Saw bersabda: riba mempunyai tujuhpuluh dosa besar, yang paling ringan adalah seperti –dosa- seseorang menikahi / menggauli ibunya sendiri (HR. Ibnu Majah)

Adapun onani, secara syariah / fiqih islam masih diperdebatkan dikalangan ulama'2 Islam, antara apakah ia termasuk diperbolehkan atau diharamkan. Sebagian besar ulama mengharamkannya namun ada juga yang membolehkannya:

1. Ulama' Yang mengharamkan, Umumnya berpegang kepada firman Allah SWT: "Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas." (Al-Mu‘minun: 5-7). Mereka memasukkan onani sebagai perbuatan tidak menjaga kemaluan.

Dalam kitab Subulus Salam juz 3 halaman 109 disebutkan hadits yang berkaitan dengan anjuran untuk menikah: Rasulullah SAW telah bersabda kepada kepada kami,"Wahai para pemuda, apabila siapa diantara kalian yangtelah memiliki baah (kemampuan) maka menikahlah, kerena menikah itu menjaga pandangan dan kemaluan. Bagi yang belum mampu maka puasalah, karena puasa itu sebagai pelindung. HR Muttafaqun ‘alaih. Di dalam keterangannya dalam kitab Subulus Salam, Ash-Shan‘ani menjelaskan bahwa dengan hadits itu sebagian ulama Malikiyah mengharamkan onani dengan alasan bila onani dihalalkan, seharusnya Rasulullah SAW memberi jalan keluarnya dengan onani saja karena lebih sederhana dan mudah. Tetapi Beliau malah menyuruh untuk puasa.

Sedangkan Imam Asy-Syafi‘i mengharamkan onani dalam kitab Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro jilid 7 halaman 199 dalam Bab Onani ketika menafsirkan ayat Al-Quran surat Al-Mukminun ...Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya. Begitu juga dalam kitab beliau sendiri Al-Umm juz 5 halaman 94 dalam bab Onani.

Imam Ibnu Taymiyah ketika ditanya tentang hukum onani beliau mengatakan bahwa onani itu hukum asalnya adalah haram dan pelakunya dihukum ta‘zir, tetapi tidak seperti zina. Namun beliau juga mengatakan bahwa onani dibolehkan oleh sebagian shahabat dan tabiin karena hal-hal darurrat seperti dikhawatirkan jatuh ke zina atau akan menimbulkan sakit tertentu. Tetapi tanpa alasan darurat, beliau (Ibnu Taymiyah) tidak melihat adanya keringanan untuk memboleh onani.

2. Yang membolehkan Diantara para ulama yang membolehkan istimna‘ / onani antara lain Ibnu Abbas, Ibnu Hazm dan Hanafiyah dan sebagian Hanabilah. Ibnu Abbas mengatakan onani lebih baik dari zina tetapi lebih baik lagi bila menikahi wanita meskipun budak. Ada seorang pemuda mengaku kepada Ibnu Abbas,"Wahai Ibnu Abbas, saya seorang pemuda dan melihat wanita cantik. Aku mengurut-urut kemaluanku hingga keluar mani". Ibnu Abbas berkata,"Itu lebih baik dari zina, tetapi menikahi budak lebih baik dari itu (onani).

Mazhab Zhahiri yang ditokohi oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla juz 11 halaman 392 menuliskan bahwa Abu Muhammad berpendapat bahwa istimna‘ adalah mubah karena hakikatnya hanya seseorang memegang kemaluannya maka keluarlah maninya. Sedangkan nash yang mengharamkannya secara langsung tidak ada. Sebagaimana dalam firman Allah: "Dan telah Kami rinci hal-hal yang Kami haramkan" Sedangkan onani bukan termasuk hal-hal yang dirinci tentang keharamannya maka hukumnya halal. Pendapat mazhab ini memang mendasarkan pada zahir nash baik dari Al-Quran maupun Sunnah.

Sedangkan para ulama Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah)dan sebagian Hanabilah (pengkikut mazhab Imam Ahmad) -sebagaimana tertera dalam Subulus Salam juz 3 halaman 109 dan juga dalam tafsir Al-Qurthubi juz 12 halaman 105- membolehkan onani dan tidak menjadikan hadits ini tentang pemuda yang belum mampu menikah untuk puasa diatas sebagai dasar diharamkannya onani. Berbeda dengan ulama syafi‘iah dan Malikiyah. Mereka memandang bahwa onani itu dibolehkan. Alasannya bahwa mani adalah barang kelebihan. Oleh karena itu boleh dikeluarkan, seperti memotong daging lebih.

Namun sebagai catatan bahwa ada dua pendapat dari mazhab Hanabilah, sebagian mengharamkannya dan sebagian lagi membolehkannya. Bila kita periksa kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ibni Hanbal juz 4 halaman 252 disebutkan bahwa onani itu diharamkan. Ulama-ulama Hanafiah juga memberikan batas kebolehannya itu dalam dua perkara:1. Karena takut berbuat zina. 2. Karena tidak mampu kawin.

Pendapat Imam Ahmad memungkinkan untuk kita ambil dalam keadaan gharizah itu memuncak dan dikawatirkan akan jatuh ke dalam haram. Misalnya seorang pemuda yang sedang belajar atau bekerja di tempat lain yang jauh dari negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu kuat dan dia kawatir akan berbuat zina. Karena itu dia tidak berdosa menggunakan cara ini (onani) untuk meredakan bergeloranya gharizah tersebut dan supaya dia tidak berlaku congkak dan gharizahnya itu tidak menjadi ulat. Tetapi yang lebih baik dari itu semua, ialah seperti apa yang diterangkan oleh Rasulullah s.a.w. Terhadap pemuda yang tidak mampu kawin, yaitu kiranya dia mau memperbanyak puasa, dimana puasa itu dapat mendidik beribadah, mengajar bersabar dan menguatkan kedekatan untuk bertaqwa dan keyakinan terhadap penyelidikan (muraqabah) Allah kepada setiap jiwa seorang mu‘min. Untuk itu Rasuluilah s.a.w. Bersabda sebagai berikut: "Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah ada kemampuan, maka kawinlah sebab dia itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan; tetapi barangsiapa tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu baginya merupakan pelindung." (Riwayat Bukhari). Sedangkan dari sisi kesehatan, umumnya para dokter mengatakan bahwa onani itu tidak berbahaya secara langsung. Namun untuk lebih jelasnya silahkan langsung kepada para dokter yang lebih menguasai bidang ini. Wallahu a‘lam bis-shawab.

Waassalamu ‘alaikum Wr. Wb.(syariahonline)



1 komentar:

  1. argghh ...
    knpaa FSmuh ndagh bsa di comment ??
    btw,
    just info :
    almt blogmu ituu = infoapaaja.blogspot.com
    bkan infoapaaja@yahoo.com
    huumm..
    mau commen apa di'..??
    huumm ...

    BalasHapus